Sarasehan Kopi Kenduri Wiwit 2025 Kupas Perjalanan Kopi Desa Japan hingga Tantangan Industri

 




Kudus, 9 Agustus 2025 — Guyangan Campground di Desa Japan menjadi saksi hangatnya diskusi dalam Sarasehan dan Panggung Seni Kenduri Wiwit Kopi 2025. Puluhan warga, pelaku UMKM kopi, mahasiswa, dan komunitas pecinta kopi hadir untuk membicarakan seluk-beluk kopi, dari proses budidaya, pasca panen, hingga strategi mengangkatnya ke pasar global.

Kegiatan menghadirkan dua narasumber utama, yakni Bambang, petani kopi berpengalaman sekaligus anggota Desa Tahan Bencana (Destana), dan Imam Kurniawan atau Mas Ucil, pemilik Number 8 Coffee.

Bambang, yang telah 30 tahun menekuni dunia kopi, mengawali materinya dengan mengingatkan bahwa di balik setiap biji kopi terdapat kerja keras dan proses panjang. “Mulai dari penanaman, perawatan, pemangkasan, hingga panen, semua butuh ketelatenan,” ujarnya. Ia menambahkan, mayoritas kopi di Desa Japan adalah jenis Robusta karena kondisi geografisnya berada di bawah 1.000 mdpl, sementara Arabica biasanya tumbuh di ketinggian yang lebih tinggi.

Ia juga menuturkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, para petani di Desa Japan mulai beralih dari pengolahan tradisional ke teknik modern untuk meningkatkan kualitas. Dalam kesempatan itu, Bambang menjelaskan pula mengenai kopi luwak, yang difermentasi alami oleh luwak. “Luwak hanya memilih biji kopi yang matang sempurna. Itulah yang membuat kopi luwak punya kualitas istimewa,” terangnya.

Selain itu, ia mengingatkan sifat kopi yang bersifat hidroskopis atau menyerap kelembaban. Hal ini bisa menambah berat biji kopi saat disimpan di karung, tetapi dapat menurunkan kualitas rasa jika tidak dijaga dengan baik. Bagi Bambang, kopi bukan sekadar komoditas, tetapi warisan budaya yang sudah ada sejak masa kolonial Belanda.

Sementara itu, Mas Ucil membagikan pengalamannya membangun Number 8 Coffee sejak 2015. Ketertarikannya pada kopi berawal saat kuliah di Yogyakarta dan mengunjungi Klinik Kopi milik Mas Pepeng. Ia menggambarkan rantai industri kopi melalui analogi lima jari tangan. “Jempol itu konsumen, telunjuk barista, jari tengah roaster, jari manis pasca panen, dan kelingking petani. Semua saling terkait. Kalau satu lemah, semuanya terdampak,” jelasnya.


Mas Ucil menyoroti tantangan besar di Kudus, yakni belum adanya Q Grader atau penilai mutu kopi bersertifikat internasional. Menurutnya, keberadaan Q Grader lokal akan mempermudah pemetaan kualitas kopi secara objektif, meningkatkan daya saing, dan membuka peluang ekspor. “Kita perlu mendorong pelaku kopi untuk ikut pelatihan dan sertifikasi Q Grader. Pemerintah, komunitas, dan kampus bisa berkolaborasi untuk mewujudkannya,” tegasnya.

Sarasehan ini tidak hanya menjadi ruang berbagi pengetahuan, tetapi juga ajang memperkuat jejaring antar pelaku kopi. Para peserta pulang dengan wawasan baru, sekaligus semangat menjaga kualitas dan tradisi kopi Desa Japan agar mampu bersaing di tingkat nasional bahkan internasional.

Previous Post Next Post

نموذج الاتصال